ASEAN berdiri tahun 1967 di tengah situasi
regional dan internasional yang sedang berubah. Pada awal pembantukannya ASEAN
terdiri dari lima negara antara lain Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura,
dan Filipina[1].
Walaupun masing-masing negara anggota berbeda satu sama lain dalam hal bahasa,
budaya, agama, geografis, etnis, dan pengalaman sejarah, hubungan antar anggota
secara bertahap menumbuhkan rasa kebersamaan. Sebelum ASEAN terbentuk ada
organisasi regional yang mendahuluinya, seperti pembentukan Association of
Southeas Asia (ASA) yang dibentuk pada tahun 1961. Tetapi konflik yang pecah
antara Filipina dan Malaysia pada tahun tersebut menghancurkan upaya awal
tersebut, setelah bubarnya ASA karena konflik perebutan pulau sabah antara
Filipina dan Malaysia, kemudian munculah organisasi regional yaitu MAPHILINDO
yang merupakan kerjasama antara Malaysia, Filipina, dan Indonesia[2].
Tetapi percobaan kedua ini berakhir dengan politik konfrontasi yang dilancarkan
Bung Karno. Sementara itu konflik negara berpendudukan Melayu (Indonesia dan
Malaysia) dan negara berpenduduk mayoritas cina (Singapura) juga pecah sebagai
akibat dari pengorbanan awal sebelum terbentuknya organisasi regional yang
lebih solid seperti ASEAN.
Dari sejarah yang melatar belakangi
terbentuknya ASEAN membuktikan bahwa ketika itu banyak konflik terjadi di
kawasan Asia Tenggara antara Indonesia dan Malaysia terkait konfrontasi
Indonesia dan juga antara Filipina dan Malaysia teerkait perebutan pulau sabah
dan lepasnya Singapura dari negara Federasi Malaysia, bukan hanya itu saja
Perang Vietnam juga termasuk dan invasi Vietnam ke Kamboja. negara-negara Asia
Tenggara menyadari perlu dibentuknya suatu kerjasama yang dapat meredakan
saling curiga sekaligus membangun rasa saling percaya serta mendorong pembangunan
dan menghindari perpecahan di kawasan sehingga menciptakan perdamaian,
kemajuan, dan kemakmuran. dari konflik-konflik yang terjadi terbentuklah
organisasi regional yang solid sampai saat ini yaitu ASEAN. Hal itu tidak
terlepas dari perjanjian norma dan prinsip-prinsip yang terbentuk, yaitu (1).
menentang penggunaan kekerasan dan mengutamakan solusi damai, (2). otonomi
regional, (3). Tidak mencampuri urusan internal negara anggota lain, dan (4).
Menentang pakta militer dan mendukung kerjasama pertahanan bilateral[3].
- Konflik Laut China Selatan
Pemerintah
China yang pertama kali mengajukan klaim, yaitu pada tahun 1947, dengan membuat
peta resmi yang memberi tanda sebelas garis putus-putus di seputar wilayah Laut
China Selatan. Klaim kemudian dilancarkan juga oleh Vietnam yang langsung
melakukan pendudukan di pulau Spratly
Island setelah PD-II berakhir. Hal yang sama juga dilakukan oleh Taiwan,
Filipina mengajukan klaim pada tahun 1971. Kemudian klaim dilanjurkan oleh
Malaysia yang mengajukan klaim terhadap beberapa pulau LCS, kemudian Brunei
Darussalam juga mengajukan klaim yang dilakukan setelah merdeka dari Inggris
pada tahun 1984.[1]
Klaim yang diajukan beberapa negara tersebut di latar belakangi karena kekayaan alamnya yang melimpah dan
lokasinya yang strategis sehingga mampu mendukung perekonomian suatu negara.
Sengketa wilayah LCS telah terjadi selama beberapa dekade dan semakin buruk yang
meningkatkan tensi di wilayah tersebut sehngga menggangu keamanan regional.
Selama ini tercatat beberapa pristiwa
pertempuran kecil antara negara-negara yang mengklaim guna mengaktualisasi
kedaulatan.[2]
Masing-masing atas wilayah LCS, seperti konfrontasi Filipina dan Vietnam yang
terjadi pada tahun 1998-1999, dan antara Taiwan dan Vietnam pada tahun 1995.
Konfrontasi yang lebih besar berlangsung antara China dan Vietnam tahun 1974,
1988, 1982, dan 1994 begitu pula China dan Filipina terjadi tahun 1995-1999.
Konflik militer antara China dan Vietnam pada tahun 1988 terjadi ketika pasukan
dari kedua negara tersebut bentrok di pulau Johnson, yang mengakibatkan Vietnam
kehilangan dua kapal perangnnya dan lebih dari 70 awak kapalnya meninggal.[3]
- Peran ASEAN Dalam Menangani Konflik Laut China Selatan
Seperti
yang dicita-citakan oleh para pendirinya, yang tercantum dalam tujuan
didirikannya ASEAN. ASEAN telah mempromosikan dialog politik selama beberapa
dekade dan menerbitkan dokumen yang niatnya untuk mencegah dan meredam konflik
bersenjata di antara negara anggota-anggota ASEAN. ASEAN merupakan organisasi
internasional yang memiliki keanggotaan secara regional, khususnya yang ada
diwilayah Asia Tenggara. Peran ASEAN sebagai peredam konflik akan menjadi
semakin penting ketika para anggotanya saling meningkatkan komitmennya terhadap
perdamaian kawasan. Dengan demikian, pada hakekatnya keamanan maritimm
perdamaian, dan stabilitas regional terjaga setiap saat.
Pada pertemuan menteri luar negeri
ASEAN ASEAN Ministerual Meeting/AMM di
Manila Juni 1992 untuk pertama kalinya ASEAN mengeluarkan dokumen bersama
tentang masalah keamanan regional yang menyoroti masalah persengketaan di LCS,
yaitu ASEAN Declarationon The South China
Sea, di samping itu, dalam pertemuan AMM di Singapura Juli 1993 juga telah
diputuskan untuk membentuk ASEAN Regional
Forum/ARF. Dibentuknya ARF menunjukan bahwa pendekatan hanya secara
bilateral tidaklah cukup[1].
Pada 4 November 2002 dilakukan penandatanganan Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea oleh
ASEAN dan China di Phenom Penh Kamboja.[2]
DoC merupakan dokumen politik yang bertujuan untuk mencegah tensi lebih lanjut
atas sengketa wilayah dan mengurangi resiko konflik militer di LCS. Meskipun
hanya merupakan, deklarasi yang tidak dibuat untuk menyelesaikan sengketa LCS
dan tidak mengikat para pihak,[3]
penandatanganan Doc memperlihatkan bahwa China dan ASEAN mulai menyadari
pentingnya keamanan regional
Namun demikian upaya-upaya tersebut
tidak sepenuhnya diindahkan oleh pihak bersengketa. Ini akibat prinsip yang
keras dan perbedaan pemahaman dalam upaya menyelesaikan sengketa ini. Serangan
yang dilancarkan pihak-pihak yang bersengketa masih terjadi dan itu merupakan
salah satu wujud tidak dipatuhinya komitmen yang ada dalam DoC
[1] Cipto,
Bambang., Hubungan Internasional di Asia
Tenggara., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)
[2] Widia
Dwita Utami, “Upaya Asean Dalam Meredam Konflik.” (Universitas Indonesia,
Depok,2012) hal 10
[3] ibid
[1] Widia
Dwita Utami, “Upaya Asean Dalam Meredam Konflik.” (Universitas Indonesia,
Depok,2012)
[2]
Kedaulatan memberikan kompetensi eksklusif bagi suatu negara atas kewenangan
dan untuk mengambil tindakan hukum dan tindakan nyata bagi wilayahnya
[3] United
States Energy Information Administration “South China Sea”
Komentar
Posting Komentar